Akhirnya pergulatan untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2005 selesai juga pada pertengahan bulan lalu. Regulasi yang mengatur tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) tersebut ditunggu-tunggu oleh banyak lembaga pemerintahan sebagai acuan untuk melakukan pungutan atau denda bagi industri yang dibinanya.
Salah satu lembaga negara yang menyambut gembira keluarnya PP No. 7 Tahun 2009 sebagai revisi PP lama itu adalah Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo). Hal ini karena sejumlah regulasi yang selama ini telah dibuat hanya menjadi macan kertas karena sanksi denda belum bisa dimplementasikan.
”Selama ini kita menunggu dulu hasil revisi PP PNBP. Adanya revisi ini membuat peraturan yang memiliki denda menjadi lebih bertaring dan tidak hanya berujung pada peringatan. Sekarang kita bicara rupiah yang harus dikeluarkan oleh pelanggar aturan,” tegas Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar di Jakarta, Rabu (4/2).
Dijelaskannya, PP revisi tersebut mengatur jenis PNBP yang berasal dari jasa pos dan telekomunikasi, penyelenggaraan penyiaran, jasa sewa sarana dan prasarana, serta jasa pendidikan dan latihan.
PP tersebut diklaim oleh Depkominfo lebih komprehensif dan lengkap karena juga mengatur antara lain kewajiban pelaksanaan universal (USO) operator telekomunikasi dari semula 0,75 persen menjadi 1,25 persen.
Sedangkan pungutan Biaya Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi diturunkan menjadi 0,50 persen dari pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi dari sebelumnya sebesar 1 persen.
”Perubahan besaran pungutan ini justru lebih menguntungkan masyarakat karena dana USO menjadi lebih besar. Ditjen Postel sendiri memiliki target meraih PNBP sekitar tujuh triliun rupiah pada tahun ini,” kata Basuki.
Berkaitan dengan sanksi denda, jelas Basuki, ditetapkan sebesar 200 juta rupiah jika tidak memenuhi standar kualitas layanan (quality of services/QoS), denda 600 juta rupiah jika melanggar ketentuan jadwal penyediaan interkoneksi. Dan sanksi denda 10 miliar rupiah jika penyelenggara telekomunikasi melakukan diskriminasi harga dan akses interkoneksi.
Parameter denda Qos akan mengacu pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) yang dikeluarkan pada Mei 2008. dalam regulasi tersebut kualitas layanan operator diantaranya dilihat dari kinerja perhitungan tagihan, lamanya penyelesaian keluhan pelanggan, jumlah gangguan, jumlah panggilan yang terputus, keberhasilan panggilan, dan lamanya waktu menjawab panggilan pelanggan ke pusat layanan.
Berikutnya dikatakan, denda juga dikenakanan bagi operator yang tidak dapat memenuhi pembangunan jaringan sesuai dengan lisensi modern yang dimilikinya. Jika pengembangan jaringan hanya 0-40 persen dari kewajiban per tahun dikenakan denda 600 juta rupiah, selanjutnya jika 41-70 persen (Rp 400 juta), dan 71-90 persen (Rp 200 juta).
Terakhir, sanksi denda juga berlaku jika operator tidak memenuhi ketentuan penggunaan produk lokal dalam penyerapan belanja modalnya. Nilai denda untuk pelanggaran ini tergantung pada besaran dari belanja modal operator setiap tahunnya.
”Untuk masalah kandungan lokal tersebut nantinya akan ada regulasi tersendiri yang menjadi acuan menghitung konsumsi produk lokal. Ini untuk menghilangkan subyektivitas,” tegasnya.
Minta Insentif
Ketua Komite Tetap Kadin Bidang Telekomunikasi Johnny Swandi Sjam menegaskan, tidak keberatan dengan implementasi denda berupa rupiah tak lama lagi. ”Saya tidak keberatan. Namun, pemerintah juga harus berlaku adil ke industri. Berikan juga kami insentif, jangan bicara punishment terus,” tegasnya.
Insentif yang diminta berupa pengurangan besaran pungutan BHP frekuensi sebesar 20 persen dari yang berlaku saat ini dan pemberian tambahan frekuensi 3G secara gratis.
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Merza Fachys meminta regulator memberikan tenggang waktu selama dua hingga tiga tahun sebelum aturan QoS diterapkan secara ketat.
”Tenggang waktu itu dibutuhkan karena ada hal-hal yang mempengaruhi QoS tetapi belum dapat dikendalikan sepenuhnya oleh para operator,” tandas Merza.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah iklim investasi, right of way untuk pembangunan infrastruktur, ketersediaan sumber daya penunjang seperti listrik, proses perijinan menyangkut menara dan frekuensi, serta iklim tenaga kerja.
Berkaitan dengan penggunaan barang lokal, Merza menyarankan pemerintah memetakan terlebih dulu kemampuan industri perangkat telekomunikasi dalam negeri saat ini, dan berapa besar kandungan lokal masing-masing.
”Dari situ baru diketahui berapa besaran kandungan lokal yang harus dicapai oleh masing-masing operator untuk setiap teknologi. Tidak bisa main hantam kromo main sama rata untuk setiap teknologi,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Basuki mengakui, masalah insentif tidak dibahas dalam PP tersebut. ”Insentif akan diberikan secara kasuitis. Untuk sementara insentif yang diberikan secara umum terkait masalah pengurusan administrasi dan penggunaan frekuensi secara bersama-sama,” katanya.
Implikasi
Direktur Korporasi Bakrie Telecom Rakhmat Junaedi mengatakan, implikasi dari adanya sanksi denda berupa rupiah tersebut membuat operator akan lebih berhati-hati dalam mengembangkan jaringan.
”Operator harus punya contingency plan jika jaringannya bermasalah. Jika tidak, berarti siap-siap saja didenda. Namun, sebenarnya hukuman yang paling berat itu pelanggan berpindah operator bukan masalah dendanya,” katanya.
Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno mengaku tidak takut dengan adanya sanksi denda tersebut karena merupakan bagian dari kepatuhan operator terhadap regulasi. ”Meskipun tahun lalu Telkomsel banyak bermasalah dengan jaringan, tetapi kami berjanji akan memperbaiki diri untuk mempertahankan pelanggan,” katanya.
Juru bicara XL, Myra Junor mengakui, beberapa pengaturan denda seperti kualitas layanan akan untuk pelanggan. Namun, harus diingat era otonomi daerah membuat banyak operator menjadi terjepit karena regulasi dari pemerintah pusat sering tidak dipandang oleh penguasa daerah. “Ini membuat kami bingung mau ikut yang mana,” katanya.
Pada kesempatan lain, Pengamat telematika Ventura Elisawati mengatakan, pembahasan revisi PP tersebut dilakukan sejak dua hingga tiga tahun lalu. Hal ini membuat beberapa item menjadi tidak kontekstual seperti ketentuan pembangunan jaringan dan konsumsi barang domestik.
”Kasus perobohan menara di Badung itu bukti nyata bagaimana faktor luar menjadi pemicu menurunnya kualitas layanan. Solusinya untuk kondisi seperti ini ada klausul yang menyatakan jika pelanggaran disebabkan oleh pihak ketiga maka sanksi denda tidak berlaku,” tegasnya.
Sedangkan untuk sanksi denda QoS, Ventura menilai tidak tepat jika dinilai berdasarkan per pelanggaran,”Seharusnya per tahun. Karena evaluasi dilakukan per tahun. Ini sepertinya ada standar ganda”.
Secara terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir mengaku gembira adanya sanksi denda berupa rupiah bagi operator telekomunikasi yang merugikan konsumen.
“Selama ini hanya diberikan peringatan. Adanya sanksi denda akan memberikan efek jera bagi pelakunya,” katanya.
Husna meminta, denda yang dipungut dari operator dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk edukasi ke pelanggan tentang cara menggunakan jasa telekomunikasi secara benar dan sehat.
“Selama ini konsumen saling berlomba dengan operator yang ingin menipunya. Jika ada edukasi yang tepat, tentu tidak ada lagi korban penipuan,” tandasnya.[dni]
Februari 4, 2009
Kategori: Telko . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar