Keluarnya regulasi baru untuk mengatur industri yang sedang berada di zona nyaman biasanya selalu menimbulkan penolakan oleh para pelakunya.
Hal yang sama juga berlaku untuk Permenkominfo No 1/2009 tentang SMS/MMS Premium. Indonesia Mobile Content and Online Content Provider Association (IMOCA) menolak kehadiran dari regulasi tersebut khususnya dua hal yang mengganjal yakni berkaitan dengan pungutan Biaya Hak Penyelenggara (BHP) telekomunikasi dan perizinan yang harus melewati Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Padahal, ketika ditanya tentang akan hadirnya regulasi tersebut oleh Koran Jakarta pertengahan November 2008, Internal Affairs Director IMOCA Tjandra Tedja mengaku tidak khawatir dengan adanya regulasi yang khusus mengatur para penyedia konten (Content Provider/CP).
“Kita kan dilibatkan dalam membuat aturan tersebut. Sebenarnya dalam regulasi yang akan keluar itu, isinya tak jauh beda dengan kode etik Imoca. Jika sekarang jadi Permen, akan baguslah. Berarti bisa mengikat non anggota Imoca,” tutur Tjandra kala itu.
Tetapi saat diminta keterangan setelah regulasi keluar akhir pekan lalu, suara Tjandra berbeda,” Permen ini tidak sesuai dengan semangat pengembangan industri kreatif yang didengungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Atas dasar apa CP diminta tarikan pungutan BHP?. Ini sudah keblinger”.
Memang dalam regulasi tersebut, para CP ditarik BHP sebesar satu persen dari pendapatan kotornya. Perlakuan ini disamakan oleh regulator dengan penyelenggara jaringan.
Sedangkan Tjandra berpendapat, CP adalah penyedia jasa konten, bukan jasa telekomunikasi baik dasar maupun non dasar. “Regulasi ini juga mengatakan semua konten multimedia yang melalui jaringan telekomunikasi akan dikenakan BHP,” katanya.
Menurut Tjandra, itu membuat stasiun televisi, online game, radio, sms banking, label music yang melalui online, industri animasi, dan lain-lain juga akan dikenakan pungutan BHP.
Dampaknya adalah para penyedia konten bisa memindahkan hosting-nya keluar negeri karena sehingga terjadi pelarian modal. Ujung-ujungnya, masyarakat pengguna menanggung beban biaya bandwidth yang tinggi, meski mengakses konten buatan asli Indonesia.
“Kita sudah menolak saat diundang BRTI untuk mendiskusikan ide tersebut. Tetapi mereka memaksakan kehendaknya soal itu. Dan anehnya dalam pengantar Permen yang disampaikan ke publik mengesankan bahwa IMOCA sudah menyetujui. Ini abuse of power,” sesalnya.
Tjandra menduga, munculnya ide untuk menarik pungutan BHP tersebut karena BRTI melihat industri SMS Premium memiliki nilai bisnis yang menggiurkan. “Rasanya aneh, karena tahu nilai bisnisnya mencapai dua triliun rupiah tahun ini dan terus tumbuh terus dikenakan BHP tanpa menggunakan dasar hukum. Kalau begini, bagaimana industri kreatif bisa tumbuh,” katanya.
Tjandra juga menegaskan, masalah BHP tersebut sebenarnya sudah dibayarkan oleh para CP dengan menitipkan ke operator melalui revenue sharing.
Sedangkan berkaitan dengan perizinan, Tjandra melihat adanya tabrakan wewenang antara Ditjen Aplikasi dan Telematika, Ditjen Pos dan Telekomunikasi, serta BRTI. “BRTI jelas bukan lembaga perizinan. Lalu kenapa setiap layanan dilaporkan ke BRTI, fungsi Postel dan Aptel kemana? Saya juga khawatir jika setiap layanan butuh izin akan menyuburkan KKN,” tandasnya.
Melihat ketidakadilan yang dialaminya, Imoca akan membawa permen tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) jika pertemuan dengan pihak regulator telekomunikasi menemui jalan buntu.
“Secara hukum keputusan menteri terbagi dua yaitu bersifat mengatur atau menetapkan. Jika sifatnya menetapkan maka dapat dibatalkan lewat Tata Usaha Negara, namun jika sifatnya mengatur maka dapat diminta uji materil ke MK. Alternatif pembatalan juga bisa diminta melalui MA dalam waktu 180 hari sejak dikeluarkan,” katanya.
Menanggapi hal itu, Anggota Komite BRTI Heru Sutadi mempersilahkan Imoca menempuh jalur hukum. “Cuma saya kadang bingung Imoca mewakili siapa? Saat ini banyak surat masuk ke BRTI yang menanyakan tentang tata cara perizinan itu. Dan itu semua para CP juga,” katanya.
Heru menyarankan, Imoca membaca terlebih dulu secara detail isi dari regulasi tersebut sebelum mengeluarkan pernyataan yang cenderung memperkeruh suasana. “Saya heran, jika menemukan kenakalan para CP komunikasinya lancar dengan kami. Tetapi kenapa untuk urusan yang tidak menguntungkan, mereka langsung mengambil posisi di media massa. Kan semuanya bisa didiskusikan,” sesalnya.
Diakuinya, dalam regulasi memang dikatakan penyelenggara jasa pesan premium harus mendapat ijin. Namun begitu, ijin yang dimaksud adalah hanya berupa mendaftar ke BRTI dan tidak dipungut bayaran.
“Dan harus diingat Permen ini tidak mengatur hal yang melebar seperti Imoca tudingkan yakni Ring Back Tone. Ini murni untuk SMS dan MMS Premium,” tegasnya.
Berkaitan dengan pungutan (BHP), Heru menegaskan, biaya tersebut bukanlah hal yang baru dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi. “Sebenarnya tidak ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh CP, sebab BHP sudah pernah diterapkan,” katanya.
“Hanya saja, ke depannya, BHP akan dipisahkan. Mana yang menjadi benar-benar pendapatan operator dan mana yang pendapatan dari penyedia. Jadi tidak perlulah mengeluarkan pendapat mempertanyakan fungsi BRTI segala. Wong ketua BRTI itu juga Dirjen Postel,” tambahnya.
Praktisi telematika Judith MS mengatakan, hal yang wajar CP ditarik pungutan BHP karena komponen tersebut juga berlaku bagi pelaku lainnya di industri. “Penarikan BHP itu membuat industri menjadi lebih teratur,” tegasnya.
Sementara itu, VP VAS and New Services Development XL I Made Harta Wijaya dan Direktur Pemasaran Indosat Guntur S Siboro mengaskan tidak ada dalam perjanjian dengan para CP yang menyebutkan ada titipan pembayaran BHP.
“Kami membayar BHP sesuai dengan kewajiban yang diatur oleh aturan pemerintah,” kata keduanya.[doni ismanto]
Januari 19, 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar