Ramalan banyak pihak bahwa program telepon pedesaan akan
dikuasai PT Telekomunikasi Seluler
(Telkomsel) akhirnya mendekati kenyataan. Hal itu terbukti dengan diumumkannya
oleh pemerintah pada Rabu (14/1) lalu telah tercapai kesepakatan harga dengan
anak usaha Telkom tersebut untuk pengerjaan paket I, III, dan VI.
Sebelumnya untuk pengerjaan paket II dan VII, Telkomsel
juga telah menjadi pemenang dalam lelang murni
yang dilakukan panitia lelang Balai Telekomunikasi dan Informatika
Perdesaan, (BTIP) Ditjen Postel.
Paket II untuk pengerjaan dari program yang dikenal dengan
nama Universal Service Obligation (USO) tersebut meliputi wilayah Jambi, Riau,
Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka
Belitung,
Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung. Dalam paket ini
Telkomsel bersaing dengan
PT Indonusa System Integrator Prima, dan PT Indosat Tbk
(Indosat).
Sementara untuk paket
tujuh mengerjakan wilayah
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Di
wilayah ini anak usaha Telkom tersebut berkompetisi dengan PT
Sampoerna Telekomunikasi Indonesia
dan PT Indonusa System Integrator Prima.
USO rencananya akan menjamah 31.824 desa dari 32 provinsi. Jumlah ini
menyusut 6.647 dari sasaran tender sebelumnya, yaitu 38.471 desa di seluruh
Indonesia. Hal
itu karena ada beberapa wilayah perdesaan yang telah terjangkau layanan seluler
dan dikategorikan sebagai skema USO.
Adapun pagu anggaran paket untuk penggelaran telepon
perdesaan mencapai sebesar 814, 82 miliar rupiah dalam bentuk tujuh paket
pekerjaan, yang mencakup 11 blok wilayah pelayanan universal telekomunikasi
(WPUT). Pagu tersebut dianggap sebagai
bagian dari pembiayaan kegiatan penyediaan jasa akses telekomunikasi untuk lima tahun.
Untuk paket tujuh Telkomsel menang dengan nilai total
bobot 92,56 dan nilai harga
penawaran 201.070.814.184 rupiah.
Sementara di paket II nilai total bobot
yang diraih sebesar 89,63 dengan nilai
harga penawaran 333.070.219.110 rupiah.
“Kami mengerjakan tender USO ini dengan menyelesaikan
tahapan sesuai prioritas. Saat awal Januari kita membereskan proses lelang
murni di paket II dan VII. Nah, karena di
I, III, dan VI hanya ada satu
perusahaan yang lolos prakualifikasi (Telkomsel), kita melakukan negosiasi harga
sesuai dengan Keppres 80 tentang pengadaan barang dan jasa,” ujar juru bicara
Departemen Komunikasi dan Informatika Gatot S Dewa Broto kepada Koran Jakarta,
Jumat (16/1).
Untuk diketahui, paket I
wilayah pengerjaan meliputi
Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera
Utara, dan Sumatera Barat. Paket III meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Dan paket VI meliputi Bali, Nusa Tenggara
Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
DI ketiga paket yang membutuhkan negosiasi harga itu
akhirnya pemerintah menemukan kata
sepakat dengan Telkomsel pada harga 553.598.298.243 rupiah (Paket I),
365.898.864.682 rupiah (Paket II), dan 209.042.257.717 rupiah (paket III).
“Itu sudah merupakan best price yang didapat pemerintah
hasil negosiasi yang alot dengan Telkomsel,” kata Gatot.
Gatot menjelaskan, setelah lima paket pengerjaan diselesaikan proses
lelangnya, maka pekerjaan rumah BTIP berikutnya adalah menyelesaikan lelang di
paket IV dan V. Menariknya, di dua paket tersisa kali ini Telkomsel bersaing
dengan induk usahanya yakni Telkom.
Paket IV meliputi pekerjaan di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara.
Sedangkan paket V meliputi wilayah Papua dan Irian Jaya Barat.
Terhambatnya proses lelang di dua paket tersebut karena
Telkom mengajukan syarat permintaan insentif ke pemerintah atas kerja kerasnya
selama ini yang telah mengurangi jumah desa dalam kategori USO.
Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah membantah keras
pihaknya meminta insentif kepada pemerintah. “Kata siapa Telkom meminta
insentif. Kami Cuma bilang bahwa
wilayah dua paket pengerjaan itu sangat keras tantangannya. Di Papua
transportasi terbatas. Jadi, bagaimana solusinya membawa alat kesana. Itu
insentif yang dipikirkan,” elaknya.
Rinaldi mengingatkan, Telkom memiliki komitmen kuat untuk
menyukseskan USO karena keikutsertaan dari Telkomsel tidak dapat dilepaskan
dari induk anak usaha. “Di luar dua paket yang kami ikut, memang lebih cocok
dilayani oleh seluler. Karena itu kita suruh Telkomsel yang maju. Sedangkan
Telkom maju di paket empat dan lima.
Dan itu tak akan berubah,” tegasnya.
Sementara Direktur Utama Telkomsel Kiskenda Suriahardja
mengungkapkan, Telkomsel hanya lulus di prakualifikasi untuk paket empat dan lima.
Sedangkan yang
mengajukan penawaran harga adalah Telkom. “Tetapi jika akhirnya Telkom mundur,
kami siap ambil alih,” katanya.
Gatot menyakini, masalah dua paket pengerjaan yang masih tersisa akan selesai
pada minggu depan. “Saya yakin Telkom
tidak akan ngeyel dengan permintaannya dan semua bisa diselesaikan pada akhir
bulan ini sehingga target pengerjaan lima
dari tujuh paket selesai pada September nanti tercapai,” tegasnya.
Andalkan Merah Putih
Direktur
Perencanaan dan Pengembangan Telkomsel
Syarif Syarial Ahmad mengatakan, pihaknya akan langsung menggeber
pembangunan begitu penandatanganan kontrak dilakukan.
Dijelaskannya, untuk menjalankan program
USO tersebut Telkomsel akan mengandalkan program Telkomsel “Merah Putih” yang
telah menelan biaya 50 miliar rupiah sejak di jalankan pada tahun lalu.
Program yang menggunakan teknologi GSM-IP tersebut merupakan salah satu strategi
Telkomsel memperluas wilayah layanan ke area tertinggal di pelosok Nusantara.
Beberapa wilayah yang telah merasakan program tersebut adalah desa tertingal di
sekitar Sulawesi.
Sedangkan GSM-IP adalah teknologi berbasis internet
protocol (IP) dengan dukungan very small aperture terminal (VSAT) yang
mengandalkan Base Transceiver Station (BTS) Pico-IP untuk menangkap sinyal dari
satelit.
Teknologi ini diyakini lebih murah dan efektif dibanding
membangun BTS Femto. BTS Femto biasanya digunakan untuk jaringan
perumahan dengan kapasitas terbatas. Sedangkan BTS Pico
mampu melayani pelanggan mobile dalam kapasitas lebih besar yakni delapan kanal
suara secara bersamaan
Syarif menjelaskan, strategi yang dilakukan
oleh Telkomsel dalam menggarap USO nantinya dengan memasang repeater di desa yang
telah terkena
sinyal Telkomsel dan menggunakan
satelit dan teknologi GSM-IP
untuk desa yang benar-benar masih perawan dari sinyal seluler.
Kiskenda menambahkan, perseroan menyiapkan
anggaran sebesar 600 miliar rupiah atau empat persen dari belanja modal tahun
ini yang mencapai 15 triliun rupiah untuk pembangunan di tahun pertama.
Sedangkan untuk pengoperasian selama lima
tahun dibutuhkan dana sebesar 2,5 triliun rupiah.
“Angka itu memunculkan selisih dengan
insentif yang diberikan pemerintah sebesar 900 miliar rupiah. Terus terang
angka insentif sebesar 1,6 triliun
rupiah yang diberikan oleh pemerintah itu tak menutup biaya operasi,”
kata Kiskenda.
Namun, Kisekenda optimistis, dari sisi lain
ada keuntungan yang diraih oleh Telkomsel dalam mengerjakan USO seperti
didapatnya lisensi jaringan tetap dan Wimax di wilayah USO dan menolong usaha
Telkomsel yang memang ingin mengembangkan sayap hingga ke pelosok.
“Target kita akan ada tambahan dua hingga
tiga juta pelanggan baru dari program USO ini. Sedangkan target pelanggan
secara keseluruhan tahun ini mencapai 10 juta pelanggan untuk mencapai 75 juta
pelanggan pada akhir tahun nanti,” katanya.
Investasi
Pada kesempatan lain, Menkominfo Muhammad Nuh meminta
operator melihat program USO sebagai investasi jangka panjang bukanlah proyek
sesaat.
“Program ini demi kesejahteraan rakyat di pedesaan
tertinggal. Kami ingin menjadikan USO sebagai pintu e-Indonesia di wilayah
tersebut agar masyarakat terangkat perekonomiannya. Jadi, ini program mulia,”
kata Nuh.
Nuh mengharapkan, dengan adanya USO nantinya desa-desa
tertinggal tersebut dapat mengaplikasikan kegiatan seharihari berbasis
teknologi telekomunikasi (e-based) seperti e-Health, e-commerce, dan lainnya.
Nuh mengaku tak habis pikir jika ada operator yang belum
apa-apa sudah memita insentif pada pemerintah karena merasa telah mengerjakan
program USO. “ Tak dapat dipungkiri sebenarnya pada satu masa jaringan operator
itu akan mencapai desa-desa teringgal juga pada akhirnya,” katanya.
“Nah, ini kita sudah bantu dengan dana. Jika mau bicara
bisnis sewajarnya pemerintah hanya mengeluarkan dana 10 persen dari total nili
proyek, karena toh nantinya operator juga yang untung. Pola pikir belum apa-apa
minta insentif itulah yang saya tak habis pikir,” sesalnya.
Sementara itu, Ketua Komite
Nasional Telekomunikasi Indonesia Srijanto Tjokrosudarmo meminta, program USO
sudah lari dari ruh UU No 36/99 Pasal 16
tentang kewajiban setiap penyelenggara jaringan melaksanakan program tersebut.
Pasal tersebut secara tegas menyebutkan setiap penyelenggara telekomunikasi wajib
melaksanakan
USO. Dan bagi di luar penyelenggara telekomunikasi wajib menyumbangkan dana
untuk USO.
“UU itu jelas sekali menyebutkan setiap penyelenggara
jaringan wajib membangun infrastruktur di pedesaan. Lalu kenapa harus ada USO?.
Ini kan
seperti mencari proyek saja,” katanya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh pengamat telematika dari
Universitas Indonesia GUnawan Wibisono yang melihat USO telah melenceng dari
semangat awal UU Telekomunikasi. “Seharusnya memang semua operator didorong
membangun jaringan hingga ke pedesaan. Soalnya di perkotaan itu sudah terlalu
crowded,” katanya.[dni]
Januari 16, 2009
Kategori: Uncategorized . . Penulis: doniismanto . Comments: 1 Komentar