Setelah molor beberapa bulan, akhirnya pemerintah berhasil juga melakukan evaluasi kepemilikan lisensi modern 3G menjelang tutup tahun 2008 lalu.
Dari hasil evaluasi, semua pemilik lisensi dinyatakan telah memenuhi komitmen dalam perjanjian ketika frekuensi di spektrum 2,1 GHz diberikan dua tahun lalu seperti roll out jaringan, penyerapan kandungan lokal, dan lainnya.
Temuan lain dari evaluasi tersebut adalah terdapat beberapa operator yang memiliki basis pelanggan di atas 10 juta mengalami kekurangan frekuensi sehingga mengajukan tambahan sebesar 5 Mhz. Sementara di spektrum 2,1 GHz sendiri masih terdapat alokasi frekuensi sebesar 35 MHz.
Operator yang mengajukan tambahan adalah Telkomsel, Indosat, dan XL. Sedangkan Hutchison CP Telecom Indonesia (HCPT) dan Natrindo Telepon Seluler (NTS) tidak melakukan hal tersebut.
Ketiga operator yang mengajukan tambahan frekuensi tersebut pada dua tahun lalu masing-masing mendapatkan alokasi frekuensi sebesar 5 MHz dengan mengeluarkan biaya yang tak sedikit.
Saat lelang frekuensi tersebut, negara diperkirakan mendapatkan uang segar sekitar 566 miliar rupiah. Angka itu di luar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi yang jumlahnya bervariasi setiap tahunnya.
Pada tahun pertama saja tiga operator pemenang, Telkomsel, Indosat, dan XL, harus membayar sebesar 32 miliar rupiah. Jika dihitung secara kasar, ada dana masuk ke negara sekitar 9 triliun rupiah selama dua tahun hanya dar hasil pemberian frekuensi 3G.
Jika tiga operator tersebut bersimbah peluh untuk mendapatkan lisensi, tidak demikian dengan NTS dan HCPT, kedua operator ini sebelum 2006 sudah mengantongi frekuensi hanya dengan jual kecap alias beauty contest. Tetapi karena tidak ada penyelenggaraan layanan, akhirnya dua blok frekuensi yang dimiliki operator itu diambil pemerintah untuk dilelalang pada 2006.
Dan hingga sekarang pun, aktivitas pemasaran dari kedua operator ini tidak begitu intens menjual layanan data. Aksi cari untung lebih diutamakan dengan membanting tarif suara agar bisa mengakuisisi pelanggan lebih cepat.
HCPT yang mengklaim memiliki sekitar 3,2 juta pelanggan mengaku ada ribuan pelanggan yang terdaftar di jaringan 3G-nya. Sementara NTS yang baru meluncur medio April lalu, bahkan lebih tidak jelas lagi data pelanggan eksisting kecuali jumlah aktivasi yang diklaim mencapi satu juta nomor.
Hal ini tentu berbeda sekali dengan Telkomsel yang telah menghadirkan 3G di 120 kota di seluruh Indonesia . Sementara untuk broadband High Speed Downlink Packet Access (HSDPA) telah dinikmati di 76 kota . Pelanggan mobile datanya pun sudah mencapai 106 ribu yang dilayani 4.500 Node B (BTS 3G).
Dan Indosat memiliki 175 ribu pelanggan 3G di 17 kota dengan Node B sebanyak 1.300 site. Sementara XL menghadirkan 3G di 91 kota dengan 1.875 Node Byang melayani 70 ribu pelanggan.
Direktur Utama Indosat, Johnny Swandi Sjam mengatakan, pertumbuhan pelanggan mobile data yang positif membuat manajemen mengajukan perlunya penambahan frekuensi untuk teknologi tersebut. “ Audit internal menyebutkan kita perlu tambahan frekuensi,” jelasnya kepada Koran Jakarta, Sealsa (6/1).
Tidak Murah
Pemerintah pun tidak menutup mata dengan kenyataan di lapangan. Hal ini karena ketika lelang frekuensi pun pemerintah sadar teknologi 3G idealnya berjalan dengan alokasi sebesar 10 MHz di masing-masing operator.
Masalahnya frekuensi adalah sumber daya alam terbatas dan menjadi alat untuk mendapatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jadi, jika operator ingin mewujudkan mimpinya menambah frekuensi tentu ada rupiah yang harus dikeluarkan.
“Saya tidak berani memberikan frekuensi secara gratis. Itu sama saja mengantarkan diri saya ke Kuningan (Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK). Dari kajian yang kita lakukan maka ditetapkan biaya untuk tambahan sebesar 5 MHz itu adalah 160 miliar rupiah,” ujar Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar.
Angka tersebut, lanjut Basuki, merupakan penawaran terendah ketika lelang frekuensi 3G dua tahun lalu yang dimiliki oleh Indosat.
“Sekarang pemerintah bersikap menunggu reaksi dari operator setelah nilai rupiah ini dikeluarkan. Jika para operator setuju tentu proses pemberian akan bisa terealisasi tahun ini,” katanya.
Mimpi yang Mahal
Menanggapi nilai rupiah yang dilontarkan oleh pemerintah, Johnny dan Direktur Utama XL Hasnul Suhaimi langsung menyatakan angka tersebut terlalu tinggi dengan kondisi sekarang.
“Kalau sebesar itu terus terang kami tidak sanggup. Kecuali pemerintah memberikan gimmick pemasaran seperti beli satu dapat dua dengan angka sebesar itu,” kata Johnny.
Hasnul mengatakan, sesuai hasil analisa dari konsultan yang disewanya, nilai rupiah yang realistis dengan kondisi sekarang adalah setengah dari yang ditawarkan pemerintah yakni sekitar 80 miliar rupiah.
Johnny dan Hasnul mengaku, jika pemerintah menurunkan nilai rupiah, mereka juga siap menggelontorkan dana karena biaya pembelian frekuensi bagian dari operational expenditure. “Ruoiah sebesar itu bisa dicari sambil jalan,” kata keduanya.
Menurut Hasnul, jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan tarif internet yang murah bagi masyarakat, maka tentunya adalah wajar biaya frekuensi ditekan. “3G kan digunakan untuk akses data. Kalau biaya frekuensinya saja sudah mahal, tentu operator akan membebani biaya itu pada tarif ke masyarakat. Ujung-ujungnya yang dirugikan pelanggan,” katanya.
Johnny menambahkan, kenyataan akan datangnya teknologi Wimax yang akan menjadi penantang 3G tak bisa dinafikan. “Di Wimax semuanya lebih murah. Kalau untuk 3G apa-apa dimahalkan, bagaimana bisa maju teknologi ini. seharusnya dibiarkan berkompetisi secara sehat,” tegasnya.
Ketika ditanya dampak dari tidak adanya penambahan frekuensi bagi layanan data milik mereka, Johnny dan Hasnul sepakat mengatakan, aka terjadi stagnasi dalam jumlah pelanggan dan secara gradual kualitas layanan menurun.
Untuk diketahui, operator mendesain jaringannya dengan mengutamakan jasa suara setelah itu mobile data. Hal ini karena suara merupakan mesin pengeruk keuntungan utama bagi operator.
Di teknologi 3G dalam melayani jasa yang terjadi adalah first in first out. Secara sederhana jika banyak pelanggan yang menggunakan suara, tentunya jaringan akan mengutamakan suara, sementara layanan data terpinggirkan ke jaringan 2,5G atau 2G.
“Solusi yang bisa kami lakukan hanya meningkatkan optimasi melalui pembangunan Node B dimana titik layanan menurun. Tetapi itu tidak bisa selamanya dilakukan jika bandwitdh yang dimiliki kecil,” ujar Hasnul.
Disesuaikan Kembali
Pada kesempatan lain, pengamat telematika Miftadi Sudjai menyarankan pemerintah untuk menyesuaikan kembali harga yang ditawarkan bagi penambahan frekuensi tersebut karena kenyataan di lapangan berbicara lain.
”Harga yang digunakan pemerintah masih tarif lama. Dulu angka sebesar itu dikeluarkan karena ada euforia bahwa 3G akan booming. Kenyataannya tidak ada killer aplication sehingga pertumbuhan pasar tidak sebesar yang diharapkan operator,” ujarnya.
Faktor lainnya, lanjut Miftadi, kondisi keuangan operator yang tidak lagi secemerlang dua tahun lalu. Hal itu terlihat dari pertumbuhan pendapatan yang tidak lagi besar dan susahnya mencari belanja modal. ”Masa bulan madu industri telekomunikasi sudah usai di Indonesia. Sekarang masanya pengetatan dan efisiensi,” katanya.
Miftadi mengakui, jika kondisi kekurangan frekuensi itu berlanjut yang akan dirugikan adalah pelanggan dan operator. Meskipun operator mencoba mengakalinya dengan menambah kapasitas tetapi itu akan terkendala keterbatasan bandwitdh.
”Idealnya bandwitdh yang dimiliki lebih lebar agar bisa dilakukan multi carrier dalam satu site. Hal ini akan membuat biaya pembangunan menjadi hemat. Soalnya satu Node B itu lumayan mahal, sekitar 120 ribu dollar AS,” jelasnya.[dni]
Januari 7, 2009
Kategori: Telko . . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar