Perusahaan penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mendesak Pertamina untuk menurunkan harga avtur turun sebesar 15 hingga 19 persen dibandingkan bulan lalu.
Sekjen Inaca Tengku Burhanuddin menjelaskan, permintaan penurunan sebesar itu merupakan hal yang wajar karena harga minyak mentah dunia mengalami penurunan sebesar 24 persen dalam periode yang sama dan persentase pelemahan rupiah terhadap dolar AS sekitar 4 persen.
“Rasanya tidak wajar maskapai hanya mendapatkan penurunan sebesar 4,5 persen untuk avturnya oleh Pertamina. Untuk itu kami akan mengirimkan surat ke perusahaan tersebut mempertanyakan besaran penurunan yang mereka buat,” ujar Burhanuddin kepada Koran Jakarta, Selasa (2/12).
Menurut Burhanuddin, penurunan harga avtur sebesar 4,5 persen hanya mementingkan Pertamina selaku produsen BBM di Indonesia, tetapi tidak mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan.
Untuk diketahui, harga avtur Pertamina di depot pengisian pesawat udara (DPPU) Bandara Soekarno-Hatta telah diturunkan secara periodik setiap bulan. Pada 1 September, misalnya, Pertamina menurunkan harga avtur rata-rata 15 persen di seluruh DPPU Pertamina.
Selanjutnya pada Oktober 2008, harga avtur ditambah PPN di DPPU Bandara Soekarno-Hatta sebesar 9.042 rupiah per liter, sedangkan pada November harganya diturunkan lagi menjadi 7.623 rupiah per liter. Adapun, per 1 Desember harga avtur ditambah PPN di DPPU Bandara Soekarno-Hatta dijual sebesar 7.282 rupiah per liter.
VP Sriwijaya Air Harwick Lahunduitan menyatakan, maskapai nasional saat ini sangat membutuhkan harga BBM yang murah agar dapat menghadapi krisis ekonomi. “Solusinya untuk membuat harga avtur kompetitif harus dibuka keran kompetisinya. Jika masih seperti ini, cost structure dari Pertamina tidak transparan,” katanya.
Head of Corporate Communication Mandala Airlines Trisia Megawati K.D. menilai penurunan yang dilakukan Pertamina jelas tidak mendukung iklim penerbangan di Indonesia terutama bagi penumpang angkutan udara selama liburan panjang pada Desember. Hal ini karena biaya bahan bakar (fuel) menyumbang 50 persen dari total biaya operasional pesawat.
Pada kesempatan lain, Pengamat perminyakan Kurtubi meminta Pertamina dalam menentukan harga avtur harus disesuikan dengan harga komoditi tersebut di pasaran internasional. “Avtur itu kan BBM non subsidi. Sewajarnya harganya dibuat mengikuti harga pasar internasional,” katanya.
Berkaitan dengan dibukanya kompetisi di sektor avtur, Kurtubi meragukan, beleid tersebut akan membuat harga komoditi tersebut akan turun. “Kompetisi justru membuat harga avtur terkerek naik. Hal ini karena pemain baru membutuhkan investasi di sarana dan prasarana. Dan tentunya untuk mengembalikan investasi tersebut dikembalikan dalam bentuk harga jual ke konsumen,” tuturnya.[dni]