Dua operator besar di Indonesia belum lama ini mengumumkan kinerja perusahaannya selama sembilan bulan ini. Kedua perusahaan tersebut adalah PT Telekomunikasi Indo nesia Tbk (Telkom) dan PT Indosat Tbk (Indosat).
Seperti diduga banyak kalangan, pelambatan pertumbuhan laba tidak dapat dielakkan oleh kedua operator tersebut. Namun, hal yang mengagetkan adalah besaran dari pelambatan tersebut di luar dugaan yang berujung tidak bisa “berpestanya” para pemimpin pasar di kuartal ketiga seperti tahun-tahun sebelumnya.
Padahal, seharusnya kuartal ketiga merupakan saatnya operator berpesta pora karena biasanya ada momen Ramadan yang bisa dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan mengingat trafik selama satu bulan itu mengalami kenaikan sebesar dua kali lipat dibandingkan bulan-bulan biasa. Indosat hingga kuartal ketiga tahun ini mengalami perlambatan pertumbuhan laba bersih.
Pada periode ini, Indosat hanya meraup keuntungan 1,47 triliun rupiah. Angka itu melambat sebesar 1,9 persen jika dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai 1,47 triliun rupiah. Untuk diketahui, pada kuartal ketiga tahun lalu Indosat mencatat pertumbuhan laba hingga 56 persen. Sementara Telkom lebih parah lagi, laba bersih dari pemimpin pasar tersebut hanya sekitar 8,9 triliun rupiah atau turun 9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 9,8 triliun rupiah. Penurunan juga terjadi pada laba usaha sebesar 13,66 persen atau meraup 17,179 triliun rupiah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 19,897 triliun rupiah.
Faktor Pemicu Direktur Keuangan Telkom Sudiro Asno mengungkapkan ada dua hal yang memicu menurunnya kinerja keuangan perseroan, sehingga tradisi menggelar “Pesta” di kuartal ketiga setiap tahunnnya terpaksa dibatalkan. “Faktor utama adalah penurunan biaya interkoneksi yang berlaku pada April lalu. Ini memicu terjadinya penurunan tarif yang gila-gilaan di seluler dan membuat Telkom kehilangan potensi pendapatan dari biaya interkoneksi,” katanya di Jakarta, belum lama ini.
Faktor kedua, lanjutnya, krisis ekonomi global yang memicu kenaikan suku bunga dan beban operasional. “Krisis ekonomi sebenarnya tak terlalu mengkhawatirkan karena jumlah hutang perseroan didominasi oleh mata uang dalam negeri. Dari total hutang senilai 16-17 triliun rupiah sebanyak 65 persen dalam bentuk rupiah sisanya valas. Yang paling parah itu dampak turunnya biaya interkoneksi,” jelasnya.
Pernyataan Sudiro tersebut bisa jadi merupakan satu kejutan mengingat selama ini jajaran manajemen Telkom selalu menyemburkan optimisme jika ditanya dampak dari beleid yang dikeluarkan regulator pada April lalu tersebut.
Direktur Utama Telkom Rinaldi Firmansyah kala itu selalu menyakinkan publik bahwa pertumbuhan laba perseroannya akan mencapai angka dua digit. Namun, setelah terkena “hook” penurunan tarif, disusul “upper cut” krisis ekonomi global, akhirnya manajemen Telkom melempar handuk putih dan menyiratkan “kelelahan” menghadapi perang tarif belakangan ini.
Sebenarnya secara fundamental, Telkom menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan dibandingkan Indosat. Simak data berikut ini. Indosat hingga kuartal ketiga layanan selulernya memiliki 35,473 juta pelanggan alias naik 61 persen dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar 22,026 juta pelanggan. Anak usaha Telkom, Telkomsel, pada periode yang sama memiliki 60,5 juta pelanggan atau hanya naik 36 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 16 juta pelanggan. Layanan seluler selama ini menjadi kontributor utama bagi pendapatan kedua perusahaan. Di Indosat seluler berkontribusi sekitar 77 persen, sementara di Telkom sebesar 62,1 persen.
Indosat boleh menang di pertumbuhan pelanggan, tetapi keok dalam mempertahankan pendapatan dari tiap pelanggan per bulan atau (average revenue per unit/ARPU). ARPU campuran (blended ARPU) turun 25,9 persen dari 52.421 rupiah menjadi 39.574 rupiah. Angka tersebut merupakan yang terendah dibandingkan dua operator besar lainnya yakni Telkomsel dan XL. Telkomsel hingga kuartal ketiga lalu masih memiliki ARPU blended sebesar 60 ribu rupiah.
Melihat ARPU yang cenderung semakin rendah ini ada dua hal yang dapat ditarik kesimpulan yakni jumlah pelanggan dari operator semakin banyak dan tarif yang ditawarkan ke pelanggan makin turun. Akhirnya Earning Before Income Tax Depreciation and Amortization (EBITDA) margin dari para operator terseret mengalami penurunan.
Tercatat Indosat mengalami penurunan dari 52,7 persen menjadi 49,2 persen. Sementara Telkom dari 63,5 persen menjadi 58,3 persen. “Di Indonesia ini jumlah operator yang bermain terlalu banyak. Dan semuanya berlomba untuk menawarkan tarif murah. Ini membuat kami sebagai incumbent memiliki beban “warisan” kompetisi,” kata Direktur Utama Telkomsel Kiskenda Suriahardja. Beban yang dimaksud oleh Kiskenda adalah melakukan penyesuaian harga dengan kondisi pasar.
Jika selama ini Telkomsel selalu mempertahankan tarif yang tinggi, akhirnya terseret dalam perang tarif. Fundamental lain yang menunjukkan Telkom tetap akan kuat menghadapi kompetisi tentunya keseriusan Telkom untuk tetap setia menggarap telepon kabel dan mengembangkan layanan multimedia.
Meskipun pelanggan telepon kabel hanya tersisa 8,653 juta dan pendapatannya hanya sebesar 10,28 triliun, Telkom tetap serius mengembangkan bisnis tersebut dan mengubahnya menjadi triple play sehingga mampu menyelenggarakan layanan suara, data, dan TV secara bersamaan. Sementara Indosat yang juga mengantongi lisensi telepon kabel bisa dikatakan tidak pernah menganggap layanan tersebut ada.
Meskipun pendapatan dari telepon tetap (fixed line) sebesar 1,301 triliun rupiah atau naik 11,7 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Namun, harus diingat, jumlah tersebut hasil kontribusi terbesar dari produk wireless StarOne, bukanlah telepon kabel I-phone. Telkom sendiri memiliki layanan Fixed Wireless layaknya StarOne yakni TelkomFlexi.
Pada kuartal ketiga ini layanan tersebut berhasil meraup pendapatan 1,77 triliun rupiah dengan 9,15 juta pelanggan selama sembilan bulan ini. “Secara fundamental kondisi Telkom grup paling sehat dibandingkan dengan kompetitor lainnya. Waktu akan membuktikan setelah perang tarif ini usai, siapa yang akan mampu bertahan,” ujar Chief Operating Officer Telkom Ermady Dahlan.
Ermady menyakini hal itu karena berdasarkan data yang dimilikinya saat ini penetrasi telepon di Indonesia sudah mencapai 60 persen dari total populasi. “Hingga akhir tahun nanti saya yakin angkanya menembus 65 persen. Hal itu berarti tahun depan, kita sudah masuk ke kurva jenuh. Di sini yang bermain adalah inovasi dan kualitas, bukan lagi tarif murah,” katanya. Telkom, lanjutnya, telah mempersiapkan diri menghadapi masa itu dengan lebih dulu membangun infrastruktur seperti BTS seluler sebanyak 25.089 dan Fixed Wireless sekitar 3.181.
Selain itu juga mulai mengembangkan teknologi murah untuk masuk ke pedesaan melalui GSM-IP menggunakan BTS Pico. “Nantinya pasar di pedesaan itu akan kami jadikan sebagai Average Margin Revenue Per Users (AMPU) bukan ARPU. Belum lagi layanan dompet digital T-Cash yang mulai dilirik pengguna,” tambah Kiskenda.
Lantas bagaimana dengan Indosat? Investor asing yang terlalu berkuasa di operator tersebut diyakini banyak orang akan membuat Indosat tidak lagi selincah tahun ini. Indosat diperkirakan akan bermasalah dalam penambahan infrastruktur mengingat untuk mengembangkan teknologi akan tersandung aspek kepemilikan saat lisensi tender dan pembiayaan yang akan seret mengingat selama ini belanja modal selalu ditopang oleh dana asing. Prediksi boleh saja dibuat.
Namun, semuanya belum usai hingga bendera finish dikibarkan untuk mengetahui siapa yang akan berpesta tahun depan. Kita tunggu saja.[dni]
November 3, 2008
Kategori: Telko . Tag:Telko . Penulis: doniismanto . Comments: Tinggalkan komentar